Tahun 1965 kondisi ekonomi Indonesia memburuk. APBN morat-marit. Kesejahteraan masyarakat memprihatinkan. Laju inflasi waktu itu mencapai 650%. Artinya jika situasi itu terjadi sekarang, tiba-tiba harga beras yang Rp.8.000/ Kg menjadi Rp.52.000/Kg.
Untuk mengatasi krisis, pada bulan Desember
1965 Soekarno mengumumkan kebijakan devaluasi nilai rupiah, yaitu
Rp.1.000 uang lama menjadi Rp.1 uang baru. Devaluasi zaman Soekarno
tidaklah sama maksudnya dengan wacana redenominasi yang diwacanakan
sekarang. Devaluasi bukan saja nominal uang yang terpotong, tapi
nilainya juga. Artinya kalau seseorang memiliki tabungan di bank 1 juta
rupiah dan cukup untuk membeli seekor kambing. Maka setelah devaluasi
uang itu tinggal 1000 rupiah. Dan uang yang 1 rupiah ini, untuk membeli
ayam saja tidak cukup.
Kekacauan menjadi-jadi. Rakyat mengamuk.
Bank-bank tutup. Orang kaya tiba-tiba menjadi miskin, golongan menengah
menjadi lebih miskin lagi, yang memang sudah miskin menjadi teramat
miskin. Di mana-mana orang depresi dan bunuh diri. Jangankan yang
miskin, konglomeratpun bunuh diri. Bos Bank NISP yang sekarang, Karmaka
Surjaudaja. Sebagai salah satu saksi hidup peristiwa ini sekaligus
sebagai pelaku. Depresi kemudian mencoba bunuh diri karena kebijakan
devaluasi Soekarno. Minum racun tapi nyawanya masih bisa selamat.
Tidak cukup sampai di sana. Pada bulan
Januari 1966 Soekarno mengumumkan kenaikan harga BBM. Sebelumnya,
Soekarno sudah 11 kali menaikkan harga BBM. Semua bertujuan untuk
menyehatkan fiskal, menyelamatkan APBN. Pemuda, pelajar, mahasiswa
menggelar aksi besar-besaran. Mereka serentak mengempeskan ban-ban mobil
di jalan-jalan seluruh Jakarta. Lalu lintas macet total. Mereka
menyerbu Istana Presiden, kantor-kantor kementerian dan lainnya.
Orde lama pimpinan Soekarno tamat. Berganti
Ode Baru pimpinan Soeharto. APBN tetap sakit-sakitan. Untuk
menyehatkannya Soeharto sedikitnya sampai 18 kali menaikkan harga BBM.
Tidak cukup hanya menaikkan BBM. SDA Indonesia di lelang
semurah-murahnya. Tambang emas, batu bara, minyak, dll. Sampai-sampai
Soeharto rela hanya mendapat bagian royalti 1% dari tambang emas
Freeport. Asal investor mau mengerjakannya.
Naikkan BBM, lelang SDA tidak cukup.
Soeharto melangkah lebih jauh lagi. Menumpuk hutang beribu-ribu triliun.
Soeharto membuat Indonesia menjadi nasabah empuk bagi IMF, ADB, Bank
Dunia, dll. Saat itu hutang Indonesia menumpuk sampai 65% dari
Pendapatan Domestik Brutu (PDB). Bandingkan dengan sekarang. Hutang
Indonesia hanya tinggal 24% dari PDB. Pernah di saat masa-masa akhir
Orde Baru, Indonesia mencari hutang luar negeri yang begitu besar. Tapi
hutang tersebut hanya cukup untuk membayar hutang luar negeri berikut
bunganya.
Selanjutnya era Megawati (Pemerintahan BJ
Habibie dan Gusdur kita lewatkan saja karena terlalu singkat). APBN
tetap sakit-sakitan. Megawati sampai dua kali menaikkan BBM untuk
menyehatkannya. Tidak cukup juga hanya dengan menaikkan BBM. Megawati
melelang apa yang bisa dilelang. Kekayaan alam seperti ladang gas
Tangguh, dilelang ke China hanya denga harga USD 3/mmbtu yang seharusnya
USD 16/mmbtu (kerugian negra ditaksir 30 triliun/tahun). Aset-aset
negara dilelang. Indosat dan kapal tanker, BCA, Bank Danamon, BII, dll
menjadi korban.
Sekarang kita hidup pada zaman SBY. Masih
sama juga, APBN sakit-sakitan. Kemampuan fiskal pemerintah kembang
kempis. Sampai 4 kali SBY menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan APBN.
Ternyata masalah kenaikan BBM hanya masalah
klasik yang berulang terus menerus sepanjang sejarah Indonesia. Bukan
hal yang istimewa. Hanya saja dari fakta-fakta di atas. Nampak cara SBY
jauh lebih baik dalam mengatasinya. Kenaikan BBM tidak perlu ditambah
dengan cara ‘merampas’ uang rakyat seperti kebijakan devaluasi ala
Soekarno. Tidak perlu menggadai kekayaan alam dan menambah hutang
besar-besaran ala Soeharto. Tidak perlu menggadai kekayaan alam dan
melelang aset ala Megawati. Dalam hal ini ternyata SBY-lah yang terbaik.
Atau kalau keberatan mengatakan yang terbaik, taruhlah SBY bukan yang
terburuk diantara presiden-presiden yang buruk itu.
SBY juga sudah berhasil membuat perekonomian
Indonesia lebih kuat. Lebih kuat dari zaman Soeharto apalagi zaman
Soekarno. Ekonomi yang dibangun Soekarno jelas-jelas gagal. Ekonomi yang
dibangun Soeharto ternyata rapuh. Podasinya tidak kuat, bertumpu pada
hutang luar negeri dan segelintir konglomerat. Hanya karena krisis
ekonomi Asia 1997, ekonomi yang dibangun Soeharto ambruk.
Sedangkan ekonomi yang dibangun SBY sangat
kuat dan spektakuler. Dihantam krisis dunia 2008 yang jauh lebih dahsyat
dari krisis Asia 1997, masih bisa bertahan. Bukan saja bertahan tapi
tetap tumbuh positif (hanya 3 negara di dunia ini yang berhasil menahan
laju pertumbuhan ekonominya setelah krisis 2008, yaitu China, India dan
Indonesia). Bahkan SBY berhasil membawa Indonesia menjadi negara anggota
G-20. 20 negara yang menguasai 90% perekonomian dunia. Singapura dan
Malaysia, jangankan masuk G-20, bermimpi saja mereka tidak berani.
Suasembada pangan Soeharto juga semu. Sistem
pertanian, perkebunan, dan perikanan yang dibangun Soeharto lemah. Jauh
dari standar industri. Maka Indonesia tidak pernah memiliki sawah
modern. Meski makanan pokok rakyat indonesia adalah nasi. Maka Indonesia
tidak pernah memiliki perkebunan buah-buahan bersekala modern. Meski
Indonesia merupakan negara tropis. Maka Indonesia tidak pernah memiliki
tambak garam canggih sekalipun, meski Indonesia memiliki garis pantai
yang luar biasa panjang.
Yang ada hanya perkebunan-perkebunan modern
peninggalan Belanda. Perkebunan yang dibuat atas kepentingan Belanda.
Perkebunan teh, karet, kopi, coklat dan sejenisnya. Di penghujung zaman
SBY inilah kebutuhan rakyat Indonesia yang sebenarnya mulai
diperhatikan. Sawah modern dicetak di Kalimantan. Kebun buah-buahan
modern digalakkan. Peternakan sapi besar-besaran dengan metode modern
mulai dirintis. Tambak garam dipermodern dengan gerakan membranasi, dan
lain-lain.
Apakah SBY presiden yang sudah ideal? Tidak.
Masih banyak kekurangan. Terlalu banyak sesuatu yang seharusnya
dikerjakan tapi tidak dikerjakan. Pemerataan ekonomi masih menjadi
masalah. Tapi saya hanya mengajak kita relistis, tidak tutup mata atas
keberhasilan SBY. Tidak menghujat dan menghina SBY secara berlebihan.
Seolah-olah SBY setan yang entah datangnya darimana. Apalagi disaat
bersamaan kita menyanjung presiden-presiden masa lalu yang seolah-olah
jauh lebih berprestasi. Sedangkan SBY tidak ada prestasi apa-apanya.
Setiap generasi hidup pada masanya sendiri.
Soekarno misalnya. Terlihat hebat karena hidup pada zaman perang
kemerdekaan. Belum tentu akan hebat jika dia memimpin pada masa
sekarang. Bayangkan, seandainya Soekarno menjadi presiden sekarang.
Mungkin Indonesia sudah dibawa bangkrut, terkucil, dan terbelakang
seperti Korea Utara dan Venezuela.
Atau sebaliknya. Seandainya SBY hidup pada
masa perjuangan kemerdekaan. Mungkin Indonesia membutuhkan waktu yang
lebih lama lagi untuk merdeka. Dengan sikapnya yang peragu, lamban,
penuh pertimbangan, dan sopan santun tingkat tinggi. Akan menjadi
kelemahan yang sangat fatal bagi Indonesia saat itu.
Begitu juga Soeharto. Jika dia menjadi
presiden pada masa informasi dan teknologi seperti sekarang ini. Mungkin
nasibnya akan sama dengan Presiden Tunisia, Mesir, Libya dan
diktator-diktator lainnya. Atau paling tidak dia akan membuat Indonesia
perang saudara seperti Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
Soekarno mungkin pemimpin terbaik pada
zamannya. Begitu juga Soeharto. Silahkan pemimpin yang sekarang
dikritisi tapi jangan dihina berlebihan. Seperti kelakuan sekumpulan
“generasi sakit” yaitu para komentator detik.com, Kaskus dan sejenisnya,
yang hanya bisa mencemooh, menghina dan menghujat.
Biarlah orang tua menyanjung-nyanjung masa
lalu. Mereka sudah tua, ingatan mereka lemah, wajar melupakan
penderitaan. Kita generasi muda, hidup pada zaman online. Tidak boleh
hanya sekedar mengandalkan ingatan. Ingatan kadang menipu, ingatan
kadang menjebak kita pada romantisme masa lalu. Tugas kita mencari
pemimpin masa depan, tidak baik hidup hanya diisi dongeng-dongeng
kemakmuran masa lalu. Yang sebenarnya hanya perasaan. Yang sebenarnya
memang hanya dongeng.
***
sumber: kompasiana.com
No comments:
Post a Comment